Lazada Indonesia

Menyambung Hidup di Pucuk Atap Bangunan

Seorang lelaki sedang menambal genteng ruang satpam di sebuah perusahaan. Penyebabnya, air sering masuk ke ruangan saat hujan. Pekerjaan ini dilakoninya tanpa memperhatikan keselamatan kerja. Peralatan pengaman tidak ada yang disematkan, padahal sedang terjadi rintik hujan. Upah yang tidak terlalu besar pun diterimanya meski harus bertaruh nyawa. Foto diambil pada 25 Pebruari 2009.

[Santai] Caleg "Superhero"


Waduh-waduh, tokoh superhero pun sekarang jadi korban demokrasi. Lebih baik daftar caleg daripada kecapekan seharian terbang kesana-kemari kasih bantuan langsung. Atau barangkali, para superhero menginginkan ada perwakilan mereka di Gedung DPR RI. Iklan caleg menggelitik ini, LiputanOne dapatkan di sini, tanpa bermaksud turut mempromosikan sang caleg.


[Stop Press] LiputanOne Ganti Wajah

Terhitung 19 Pebruari 2009 pukul 14.00 WIB, LiputanOne berganti perwajahan. Semoga dengan tampilan baru ini menjadi semakin enak untuk dinikmati

Salam,
LiputanOne

Mbah Warni, Pembatik Senior di Kampung Batik Laweyan

Mbah Warni sedang makan pepaya dengan sendok perak tatkala LiputanOne menghampiri kamar kontrakannya yang sempit di wilayah Kampung Batik Laweyan, Solo. Kamar yang berukuran sekitar 3,5 x 6 meter tersebut, penuh sesak dengan pakaian dan kain berserakan tanpa dilipat. Dalam ruang panas dan pengap itu hanya ada sebuah kasur dan lemari, serta beberapa alat memasak. Sekalipun begitu, Mbah Warni sudah tinggal di kamar tersebut lebih dari 32 tahun.

Berpakaian pun apa adanya. Mbah Warni saat itu mengenakan kebaya hijau dengan bawahan jarit. Gaya busana senada wanita tempo dulu yang belum termakan mode baju. Rambutnya digelung kecil dan rata dengan uban. Kerutan di kulit badan dan cara berjalan yang agak membungkuk, mengiringi bertambahnya usia Mbah Warni yang lebih dari 60 tahun.

Sekilas wanita bernama lengkap Sri Suwarni ini tampak sebagai wanita biasa. Pendengarannya pun berkurang dan mesti berteriak bila ingin bicara dengannya. Namun dibalik itu, para saudagar batik di Laweyan cukup mengaguminya. Hasil goresan canting di tangannya, mampu memikat penggemar batik tulis yang menyukai motif tradisional. Tak heran bila terdengar ada saudagar maupun kolektor turut memesan batik hasil sentuhan Mbah Warni sebagai koleksi pribadi.

Wanita sebatang kara ini menjadikan keahliannya membatik sebagai tumpuan hidup. Sang suami, Suratman, meninggalkannya beberapa tahun silam. Kesedihannya pun belum berakhir. Tiga anak yang dicintainya juga tidak diberikan umur panjang. “Saya harus menghidupi diri saya sendiri. Berapa pun hasil yang saya dapatkan, saya syukuri”, ujar Mbah Warni sembari duduk pada emper kecil di depan kamarnya.

Mbah Warni memperoleh ilmu membatik dari tetangganya yang saudagar batik, yaitu Mangunsutomo. Mbah Warni saat itu masih duduk di sekolah dasar (SD). Dia membantu sekaligus belajar membatik seusai pulang sekolah. Mangunsutomo memiliki dua anak perempuan yang bisu tapi cekatan membuat batik halus. Salah satu dari mereka adalah teman bermain Mbah Warni yang bernama sama dengannya, Warni. Justru dari kedua anak inilah, Mbah Warni mempunyai semangat belajar membatik.

“Saya berpikir, yang bisu saja bisa mbatik. Kok saya nggak bisa. Lalu saya mantapkan untuk belajar membatik. Tidak dibayar pun saya rela,” kenang Mbah Warni sambil membakar arang untuk menghangatkan malam yang membeku di sebuah wajan kecil.

Pengorbanan Mbah Warni tidak sia-sia. Beberapa motif batik tradisional mampu dikuasainya, sekalipun tidak bisa menjelaskan fungsi masing-masing motif batik buatannya.

”Motif batik yang bisa saya buat banyak. Antara lain Parang Baris, Parang Kusumo, Truntum, Indrawasih, maupun Sidopeni.” ujar Mbah Warni sembari menunjukkan kain bermotif batik Indrawasih pesanan pelanggannya yang hampir jadi.

Selepas berguru di tempat Mangunsoetomo, Mbah Warni mengerjakan batik tulis di rumah bersama nenek buyutnya. Dia merasa senang sekali ketika batik buatannya mendapatkan apresiasi dan laku dijual.

“Batik saya waktu itu dibayar dengan uang sen warna merah, berlubang dua, dan bergambar padi,” ujar Mbah Warni yang belum paham nilai mata uang saat itu. “Dulu uang berlobang tengah warna putih bisa buat beli tiga permen gambar ikan wader,” sambung Mbah Warni membandingkan nilai dua uang logam yang berlaku saat itu.

Dalam sebulan, Mbah Warni bisa menyelesaikan dua pesanan batik. Sekalipun batik buatannya bagus, dia tidak mematok harga tinggi. Nilai 200 ribu hingga 350 ribu menjadi harga tawar yang sering diberikan kepada pelanggannya. Harga tersebut masih pendapatan kotor. Kalau lagi sepi pesanan, Mbah Warni biasanya membuat batik lantas dijualnya sendiri.

“Itu masih dikurangi biaya arang, malam, canting, dan sebagainya,” ujar Mbah Warni sambil membatik pada sebuah kain bermotif Sidopeni yang diambilnya dari kamar.

Kadangkala Mbah Warni mengeluh tekor karena tiba-tiba harga perlengkapan dan biaya operasional membatik naik. Sedangkan, nilai pesanan yang disepakati dengan pemesan ternyata kurang sepadan dengan biaya yang dikeluarkan.

”Sekarang harga malam Rp 1.750. Arang juga naik dari Rp 2.000 jadi Rp 3.000. Saya mumet kalau sudah begini. Itu masih harus bayar untuk mbabar dan sebagainya.” ujar Mbah Warni dengan raut muka sedih sembari mengernyitkan dahi.

Sekalipun dapur Mbah Warni tak tentu “asapnya”, dia enggan bergabung menjadi karyawan produsen batik lain. Pedoman hidup Mbah Warni dalam mengais rezeki cukup mengesankan.

“Saya tidak mau jongkok dan memohon diterima bekerja untuk mbatik di tempat orang lain. Itu akan menjatuhkan harga diri saya. Lebih baik saya berwiraswasta semampu saya. Kalau mereka (produsen batik –red) mau pesan batik di tempat saya, silahkan!” ujar Mbah Warni tegas dan bersemangat. “Pikiran saya lebih enak kalau berwiraswasta.” lanjutnya.

[Lensa] Night Market Ngarsapura Ramaikan Pasar Tradisional Solo

Solo kembali memiliki pasar baru yang menggerakkan sektor riil di kota ini. Kekuatan Solo memang dominan dalam dunia perdagangan. Tidak berlebihan bila perhatian walikota Solo, Jokowi, cukup tinggi terhadap keberadaan lahan bisnis baru bagi masyarakat Solo.
Anehnya, Jokowi tidak lantas latah mengizinkan pembangunan pasar modern yang baru. Justru pasar tradisional yang diberikan perhatian lebih oleh Pemkot Solo.

Pada 16 Pebruari 2009 kemarin, bertepatan dengan ulang tahun Kota Solo, sebuah pasar tradisional kembali lahir di kota Bengawan. Pasar ini bernama Night Market Ngarsapura yang berlokasi di sepanjang jalan Diponegoro, Solo. Marie Elka Pangestu, Menteri Perdagangan, turut meramaikan pasar dengan memotong tali peresmian pada soft launching pasar malam tersebut.

Night Market Ngarsapura terdiri dari tiga pasar, yaitu Pasar Windujenar (dulu Pasar Triwindu), Pasar Elektronik, dan Pasar Ngarsapura. Pasar Windujenar menjual aneka benda antik dan kerajinan. Pasar Elektronik berfokus pada penjualan barang elektronik. Terakhir, di Pasar Ngarsapura, aneka kuliner hingga busana pun bisa didapatkan di sana layaknya pasar malam.

Berikut ini lensa peristiwa yang sempat diabadikan LiputanOne pada acara soft launching Night Market Ngarsapura.


Marie Elka Pangestu, Menteri Perdagangan, menuruni tangga dari kereta wisata. Menteri, walikota, dan para rombongan menuju lokasi Night Market Ngarsapura menggunakan kereta wisata yang berangakat dari Loji Gandrung, rumah dinas walikota Solo.



Sekalipun masih soft opening antusiasme masyarakat solo cukup tinggi untuk menikmati suasana Night Market Ngarsapura.



Seorang anak tengah melihat keunikan miniatur kendaraan tradisional



Siapa bilang generasi muda tidak peduli dengan budaya lokal. Siswi SMPN 17 Surakarta ini cukup mahir membatik demi melestarikan karya seni asli Indonesia.



Sembari menunggu jumpa pers dengan Menteri Perdagangan, para wartwan menanti dengan sabar ibu menteri yang sedang meninjau lokasi. Tampak wartawan Solopos (kaos biru) menyicil laporan untuk diterbitkan medianya esok hari.



Menteri Perdagangan, Marie Elka Pangestu, memberikan keterangan pers.



Pada kesempatan tersebut, Arswendo Atmowiloto, melakukan launching buku "Kitab Solo". Tampak dalam foto, Arswendo menandatangani buku hasil karyanya.

Belajar Bahasa Arab di Solo untuk ke Saudi

Sekalipun terbentang jarak sangat jauh, namun tidak menyurutkan langkah seorang pemuda asal Cina untuk belajar Islam di Indonesia. Pemuda ini bernama Abdullah bin Thalha. Dia berasal dari Propinsi Daerah Otonomi Xinjiang, Cina. Kedatangannya di Indonesia atas beasiswa dari sebuah lembaga Islam yang berlokasi di Dubai.

Abdullah saat ini mengambil kuliah di Pondok Pesantren (Ponpes) Abubakar Ash Shidiq, Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS). Kehadirannya di Indonesia sebenarnya sejak 1,5 tahun yang lalu. Satu tahun dihabiskannya untuk belajar bahasa arab di Ponpes Ali bin Abi Thalib, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Di Surakarta, dia hampir setengah tahun ini mendalami bahasa arab lebih lanjut.

“Bagi saya belajar bahasa arab itu sangat penting. Al Quran itu berbahasa Arab dan akan lebih mudah dipahami jika kita mempu berbahasa Arab,” ujar Abdullah kepada LiputanOne

Abdullah punya alasan tersendiri memilih Indonesia sebagai tempat belajarnya. Dengan mayoritas penduduk muslim terbesar di dunia, Abdullah yakin jika lingkungan di Indonesia cukup bagus.

Selain itu, “Untuk bisa belajar di Arab Saudi pun perlu belajar bahasa arab dulu selama dua tahun. Buku-buku yang dipakai di sini pun juga berasal dari arab. Begitu pula dengan sistem belajarnya, juga sama dengan di Universitas Imam Su’ud, Riyadh (Arab Saudi). Jadi kira-kira belajar bahasa arab di sini, sama dengan layaknya belajar di Arab. Ini sebagai persiapan sebelum masuk kuliah,” ujar Abdullah yang mulai lancar berbahasa Indonesia.

Abdullah sebenarnya ingin langsung belajar ke Arab Saudi. Namun untuk bisa langsung ke sana, harus melalui persaingan yang ketat.

“Dengan belajar di Solo ini, begitu lulus bisa langsung meneruskan seleksi ke Arab,” kata pemuda tampan bercambang tipis ini. “Insyallah saya ingin melanjutkan ke Arab Saudi. Atau paling tidak di negara arab. Karena belajar bahasa arab harus berada di lingkungan arab juga,” kata Abdullah menambahkan.

Dorongan Abdullah untuk mempelajari bahasa arab dan Islam lebih dalam, dipengaruhi oleh lingkungan sekitar di tempat asalnya. Di Xinjiang, hampir semua penduduk memeluk Islam. Keluarga Abdullah, yang bersuku Uigur, semuanya muslim. Dia mempunyai dua adik kandung dan orang tua yang mendukungnya belajar hingga ke Indonesia. Selain itu, Abdullah memang telah memiliki ketertarikan mempelajari bahasa arab sejak umur enam tahun.

Sekalipun masyarakat di lingkungan asal Abdullah mayoritas muslim, akses untuk mendapatkan ilmu tentang Islam sangat sulit. “Untuk bisa belajar ilmu agama, kami harus mendatangi pemuka-pemuka di sana. Masih sedikit pemuka yang benar-benar memahami Islam,” ujar Abdullah. “Selain itu masyarakat di sana, sekalipun mayoritas muslim, kurang kuat Islamnya. Masih banyak kemaksiatan yang dilakukan. Seperti minum khamr (minuman beralkohol –red) atau tidak sholat. Berbeda dengan kondisi pada zaman shahabat atau ulama’ dulu. Meski mereka kadang tidak mempunyai harta, tapi iman mereka sangat kuat,“ tambah lelaki kelahiran 6 Desember 1985 itu.

Melihat kondisi tersebut, Abdullah mempunyai cita-cita untuk membenahi masyarakat di sekitar tempat asalnya. Abdullah berkomitmen untuk kembali ke Xinjiang selepas menempa ilmu bahasa arab dan Islam dari perantauan.

“Minimal saya belajar Islam untuk diri saya. Namun saya juga akan mengajarkan kepada adik-adik dan keluarga saya. Selanjutnya saya akan lakukan sebisa saya untuk berdakwah secara luas,” ujar santri yang hafal setidaknya lima juz Al Quran ini.

Abdullah menilai lingkungan belajarnya di Yogyakarta, dan sekarang di Solo, cukup kondusif. Dia merasakan keramahan saudara muslim lainnya sekalipun berbeda suku dan negara.

“Mereka cukup ramah dan bersahabat menyambut saya, juga jarang marah-marah,” ujar Abdullah sambil tertawa. “Bahkan saat saya datang ke Indonesia, saya sama sekali tidak bisa berbahasa Indonesia. Dari teman-teman inilah saya mulai belajat bahasa Indonesia,” terang Abdullah.

Abdullah mempunyai penilaian sendiri terhadap kondisi muslim di Indonesia, terutama Yogyakarta dan Solo. “Saya banyak menemui muslim yang berkomitmen seperti shahabat Rasulullah. Tapi saya juga menemui muslim yang agamanya kurang,” kata Abdullah. Dia juga menilai munculnya aliran sesat di Indonesia sangat dipengaruhi oleh sistem demokrasi yang diterapkan. “Demokrasi itu membuat segalanya serba boleh. Demokrasi tidak bisa kompromi dengan Islam. Dalam Islam, perlu diteliti boleh tidaknya sesuatu itu dilakukan,” ujar Abdullah menjelaskan.

Melihat hal ini, Abdullah turut berpesan kepada saudara muslim di Indonesia. Dia memandang kaum muslim di Indonesia perlu mensyukuri diberikan kemudahan mencari ilmu agama Islam.

“Di Xinjiang, mencari ilmu agama harus aktif menemui kyai,” ujar Abdullah. “Oleh karena itu, marilah mensyukuri kenikmatan yang diberikan Allah ini agar Allah makin menambah nikmat. Jika kita tidak bersyukur, maka Allah akan mencabut kembali nikmat yang telah diturunkanNya,” pungkas Abdullah.

LiputanOne Dapat Award Kedua


Award ini merupakan penghargaan kedua dari rekan blogger. Sebelumnya LiputanOne menerima award dari blogger pesisiran kidul pada Desember lalu dengan kriteria “The Smile Stone Award”. Award kedua ini dari pemilik blog Just-Fatamorgana, Fanny Fredlina, dengan kriteria “Cutes Blogger Award”. Terima kasih atas kepercayaan Fanny dan blogger semua kepada LiputanOne.


“Termehek-Mehek” Demi Rating?

Trans TV saat ini cukup sukses mengusung berbagai reality show. “Termehek-Mehek”, misalnya, mampu meraih rating tinggi di antara reality show lainnya. Tidak heran bila kehadirannya mampu membuat pemirsa meluangkan waktu di akhir pekan, Sabtu dan Minggu, demi mendapatkan kisah terbaru dari acara ini.

Termehek-Mehek mengusung konsep pencarian orang “hilang” yang ingin ditemukan lagi oleh klien. Berbagai halang rintang pun dilalui demi mendapatkan informasi keberadaan tokoh yang dicari. Kadang mesti baku hantam, masuk kompleks pelacuran, atau terjadi kejadian mengharukan setelah klien menemukan orang yang dicarinya.

Benarkah semua kejadian yang terjadi dalam acara ini nyata tanpa skenario? LiputanOne menemukan pernyataan seseorang yang dimuat pada suatu forum di internet. Dia melihat satu tayangan “Termehek-Mehek” yang mengisahkan seorang wanita mencari kekasihnya yang tiga bulan menghilang. Kekasihnya bernama Rully. Setelah diselidiki, ternyata Rully terlihat sedang kencan dengan wanita setengah baya, yang dianalogikan “tante girang”. Akhirnya terbongkarlah alasan sang kekasih meninggalkan wanita tersebut.

Menurut penuturan orang yang menjadi temen Rully di dunia nyata, semua cerita ini hanya rekayasa semata. Setelah melakukan kontak ke Rully, sang pemeran dalam cerita, dia mendapatkan informasi jika setting cerita telah diatur team kreatif.

"Hehehe bohongan kok, Den, Sudah diset dari mulai cerita sampe pemain-pemainya. Loe mau ikutan juga bisa. entar gue daftarin. Kebetulan gue kenal sama team reality shownya. Nanti biar mereka seting ceritanya kayak apa,” ujar Rully.

Jika pernyataan ini benar, maka pemirsa menjadi korban “keganasan” media televisi demi sebuah rating. Kepercayaan pemirsa dibayar dengan cerita bohongan untuk popularitas brand Trans TV. Agar ini tidak berkembang sebatas wacana, ada baiknya Trans TV segera melakukan klarifikasi tentang pernyataan ini.

Website Ria FM Dicrack

Website radio Ria FM Solo menjadi korban cracker asal Jawa Timur. Konten diubah dengan tampilan yang menunjukkan website tersebut dihack oleh Jatimcrew.com. Inisial personil cracker yang berpartisipasi menginfeksi website Ria FM antara lain Doyox, Xyberbreaker, God, Vires, Elfata, Karma666, Dark Avenger, dan Izen.

Website yang beralamat di www.riafm.co.id tersebut, sampai 9 Pebruari 2009, masih belum dibenahi. Ria FM merupakan radio grup Sonora FM Jakarta yang berdiri sejak 2 Pebruari 1969 di frekuensi AM. Pada 22 Desember 1998 RIA FM berubah jalur ke FM stereo, dengan frekuensi 98.8 Mhz. Ria FM mengklaim diri sebagai radio female pertama di kota Solo.



Menjemput Dunia Kreatif

Sistem pendidikan di Indonesia masih terjebak dalam pencitraan output SDM yang kolot. Disadari atau tidak, masih banyak orang beranggapan jika sekolah itu untuk mendapatkan pekerjaan. Syukur-syukur jika bisa menempuh pendidikan di universitas atau sekolah tinggi, maka harapan mendapatkan pekerjaan di “ladang basah” penuh uang pun terbuka lebar.

Semenjak sekolah dasar, murid-murid sering direcoki dengan aktivitas non produktif. Misalnya pada pelajaran membaca di kelas satu, kerap terdengar kalimat, “Ibu pergi ke pasar membeli sayur”. Persepsi murid pun akhirnya menganggap kalau seseorang ke pasar adalah untuk berbelanja. Jika diteruskan bisa menjadi mental konsumerisme di kemudian hari.

Persepsi ini bisa bermakna produktif dengan mengubah kalimat menjadi, “Ibu pergi ke pasar untuk berjualan.” Kata “berjualan” menunjukkan aktivitas produktif. Penekanannya pada kemauan seseorang untuk mampu bertarung menghidupi diri tanpa bergantung penuh pada orang lain.

Jika ditanamkan sejak dini, boleh jadi penganggur terpelajar akan tersulut jiwa enterpreneurnya. Mereka tidak lantas manja menengadahkan tangan meminta pekerjaan kepada pengusaha yang sebagian bermental kapitalis. Artinya, mereka dibayar murah tapi diperas tenaganya. Kreativitas mereka dikekang layaknya robot demi membuat kaya pemilik usaha, tanpa kompensasi layak.

Saat ini perekonomian dunia mulai bergeser ke arah ekonomi kreatif. Pada Januari 2000, perkiraan nilai ekonomi kreatif dunia sebesar US$ 2,24 triliun dan tumbuh 5 persen per tahun. Jika diproyeksikan hingga tahun 2020 memiliki tingkat pertumbuhan yang sama, yaitu 5 persen, maka nilai ekonomi kreatif ini akan mencapai US$ 6,1 Triliun (Howkins, 2001). Intensivikasi imajinasi dan kreativitas pada kegiatan ekonomi, bisnis, pendidikan, di masa depan semakin besar.

Industri kreatif bermula dari ide kreativitas manusia. Bedanya dengan industri bermodal bahan baku fisik, industri kreatif bermodal ide-ide kreatif, talenta, dan keterampilan. Ide menjadi sumber daya yang selalu terbarukan. Ini bisa dilakukan tiap orang. Tinggal bagaimana seseorang mau untuk mengambil kesempatan ini.

Indonesia sendiri memiliki 14 sektor industri kreatif yang turut menyumbang Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 6,3 persen dari total PDB nasional pada rentang 2002-2006. Industri kreatif tersebut adalah periklanan; arsitektur; pasar seni barang dan antik; kerajinan; desain; fesyen; film, video, dan fotografi; permainan interaktif; musik; seni pertunjukan; penerbitan dan percetakan; layanan komputer dan piranti lunak; radio dan televisi; riset dan pengembangan.

Adakah contoh generasi muda yang cukup sukses di industri kreatif? Jawabannya: banyak! LiputanOne mengambil contoh Yusuf Arif Rahmanto. Jika Anda salah satu pengguna program java “YM Tiny” di ponsel, maka dia adalah kreatornya. Saat LiputanOne mengobrol dengan Yusuf, program YM Tiny telah didownload lebih dari 650 ribu kali melalui internet secara gratis. Kini Yusuf tengah mengembangkan software distribusi pulsa “Otomax” yang berorientasi profit.

Sebentar lagi Indonesia akan memiliki pemimpin baru. Entah siapa yang bertarung, maka visi, misi, dan programnya sebaiknya mampu menangkap peluang besar dalam dunia ekonomi kreatif ini. Masyarakat Indonesia nantinya juga akan dihadapkan pada persaingan ekonomi global. Berlakulah hukum rimba, siapa yang kuat maka dia yang menang.

Oleh karena itu, mulai sekarang perlu ada program pemerintah yang menunjang kemandirian masyarakat. Generasi muda jangan lagi direcoki dengan mental menggantungkan pekerjaan kepada orang lain. Sektor riil akan bergerak cepat jika makin banyak yang terjun di dunia usaha. Kala pemerintah konsen dengan pertumbuhan sektor riil, otomatis penyerapan tenaga kerja tinggi. Program pemerintah bukan lagi menyediakan lapangan kerja semata, namun lebih banyak memberikan stimulan munculnya usaha-usaha baru yang lebih kreatif.

Pengangguran akan berbanding lurus mengikuti pertumbuhan sektor riil. Semakin bertambah dan berkembangnya sektor riil, maka pengangguran akan berkurang. Beranikah pemimpin Indonesia yang baru nanti mengambil peran di dunia kreatif? Kita lihat saja

Balada Uang Seribu dan Seratus Ribu

Konon uang seribu dan seratus ribu memiliki asal-usul yang sama tapi mengalami nasib berbeda. Keduanya dicetak di PERURI dengan bahan dan peralatan berkualitas. Kali pertama keluar dari PERURI, uang seribu dan seratus ribu “berwajah” bagus, berkilau, bersih, harum, dan menarik. Setelah tiga bulan keluar dari PERURI, uang seribu dan seratus ribu bertemu di dompet seseorang dalam kondisi yang berbeda.
 
”Ya, ampun...darimana saja kamu, kawan? Baru tiga bulan kita berpisah, kamu lusuh banget? Kumal, kotor, lecet, dan bau! Padahal waktu kita sama-sama keluar dari PERURI, kita sama-sama keren kan?! Ada apa denganmu?” ujar uang seratus ribu kepada uang seribu.

Uang seribu menatap uang seratus ribu yang masih keren, dengan perasaan nelangsa. Sambil mengenang perjalanannya, uang seribu berkata, "Ya, beginilah nasibku, kawan. Sejak kita keluar dari PERURI, hanya tiga hari saya berada di dompet yang bersih dan bagus. Hari berikutnya saya pindah ke dompet tukang sayur yang kumal. Dari dompet tukang sayur, saya beralih ke kantong plastik tukang ayam. Plastiknya basah, penuh dengan darah, dan tahi ayam. Besoknya lagi, aku dilempar ke plastik seorang pengamen. Dari pengamen hanya sebentar dan lantas aku nyaman di laci tukang warteg. Dari laci tukang warteg, saya berpindah ke kantong tukang nasi uduk. Begitulah perjalananku hari ke hari. Itu makanya saya bau, kumal, lusuh, karena sering dilipat-lipat, digulung-gulung, dan diremas-remas." 

Uang seratus ribu mendengarkan dengan prihatin. Dia merasa sedih kawannya tidak mendapatkan perhatian layak sebagaimana dirinya.

"Menyedihkan sekali perjalananmu, kawan! Berbeda sekali dengan pengalamanku. Kalau aku, sejak kita keluar dari PERURI, aku disimpan di dompet kulit yang bagus dan harum. Setelah itu aku pindah ke dompet seorang wanita cantik. Hmmm... dompetnya harum sekali. Setelah dari sana, aku berpindah-pindah. Kadang-kadang aku ada di hotel berbintang lima, masuk ke restoran mewah, ke showroom mobil mewah, tempat arisan ibu-ibu pejabat, dan di tas selebritis. Pokoknya aku selalu berada di tempat yang bagus. Jarang aku di tempat yang kamu ceritakan itu. Aku juga jarang bertemu teman-temanmu," kata uang seratus ribu mengenang perjalanan hidupnya.

Uang seribu terdiam sejenak. Dia menarik nafas lega. "Ya. Nasib kita memang berbeda. Kamu selalu berada di tempat yang nyaman,” kata uang seribu.

”Tapi ada satu hal yang selalu membuat saya senang dan bangga dengan diriku dan teman-temanku!" ujar uang seribu dengan wajah sumringah.

"Apa itu?" tanya uang seratus ribu penasaran. 

"Aku sering bertemu teman-temanku di kotak amal mesjid dan tempat ibadah lain. Hampir setiap minggu aku mampir di tempat-tempat itu. Jarang aku melihat kamu atau teman-temanmu disana," ujar uang seribu mantap.