Lazada Indonesia

Dari Jasko Hingga Manohara

Ramadan bukan hanya bulan penuh ampunan, bagi umat Islam. Juga bulan berkah berlipat bagi sebagian pebisnis bersegmen agamis. Bisnis busana muslim, misalnya, tetap meningkat pasca-Lebaran. Begitu pula dengan kehadiran buku-buku Islami ikut terdongkrak naik.

Gerai Al Fath, Solo, misalnya, selalu ramai sepanjang Ramadan hingga Hari Raya Lebaran. Omset bisa meningkat tiga kali lipat dari biasanya. Kunjungan per hari rata-rata 500 orang. Dari jumlah itu, lebih dari 100 orang yang bertransaksi. Dan, angka ini makin meningkat saat Ramadan.

Pelanggannya bukan cuma warga Solo Raya. Permintaan busana muslim dari pedagang Kalimantan cukup tinggi. Bahkan, pedagang dari Malaysia dan Singapura juga ada yang kulakan pada Al Fath.

Toko busana muslim Savannah juga menuia berkah. Omset kala Ramadan bisa meningkat hingga empat kali lipat. “Mungkin ini dipicu oleh kesadaran untuk berbusana muslim, tanpa meninggalkan nilai estetika,” ujar Santi Syafino, pemilik Savannah.

Kedua toko ini bermain di segmen berbeda. Al Fath membidik kelas menengah ke atas, sedangkan Savannah bermain pada segmen menengah. Ini berimplikasi pada harga. Produk Al Fath dijual antara Rp 60 ribu-Rp 3 jutaan, sedangkan di Savannah berkisar Rp 50 ribu – 300 ribu.

Pada umumnya pembeli mencari ghamis, blus, baju koko, dan berbagai perlengkapan seperti mukena, sarung, atau peci.

Wanita muslim jadi pangsa potensial. Pilihan model busananya sangat beragam. Bisa dipastikan, busana muslimah, termasuk kerudung, selalu mengikuti tren. “Tren menjelang akhir 2009 ini adalah kerudung dengan bahan paris. Bentuknya segi empat dengan aksen etnik,” kata Susi Lestari, Manajer Al Fath Solo.

Selain itu, jilbab segi empat berhiasan payet di pinggir juga diincar pembeli. Hiasan payet menjadi lebih terkenal setelah dikenakan oleh pemeran utama dalam sinetron Manohara. Sebut saja jilbab Manohara pasti lebih mudah diingat. “Di Savannah, saat booming kerudung jenis ini, bisa laku sampai 100 buah per hari,” kata Santi, yang punya lima karyawan.

Sekalipun dominasi penjualan pada busana wanita, kebutuhan busana pria (baju koko) tetap diperhatikan. Modelnya masih memakai bordiran. Namun, oleh tim kreatif Al Fath, baju koko dikombinasi dengan bentuk jas. Inovasi ini diberi nama Jasko alias Jas Koko. Bisa dipakai pada acara resmi atau semi resmi.

Model baru memang mendukung ramainya penjualan. Itu sebabnya Savannah tiap bulan selalu menghadirkan puluhan model baru.

Sementara itu, di Lebaran ini Al Fath merilis produk busana muslimah Alluring Pesona, Natural Colour, dan mukena Raffles. Alluring Pesona adalah busana muslimah yang didominasi warna tanah, sedangkan Natural Colour menonjolkan warna krem, dusty, dan coklat muda. Keduanya beraksen payet. Hanya saja, untuk Alluring Pesona, dipermanis dengan ponco yang unik.

Busaha Savannah ada yang desain sendiri (30%) dan ada pula yang kulakan. “Selain kami memiliki team desain sendiri, juga mengambil busana dari industri rumah tangga yang menjadi mitra kami,” ujar Susi mengenai stok busana di Al Fath.

Untuk menarik pengunjung, dilakukan program promosi dengan pemberian diskon. Tapi, lebih pada pengenalan busana-busana unggulan. Savannah menggelar acara bernama Tren Lebaran. Di situ dipromosikan koleksi terbaru yang disesuaikan untuk Hari Raya Lebaran.

Selain itu, Al Fath melakukan diversifikasi usaha jelang Ramadan. Yaitu, membuka salon jilbab pada 10 Agustus 2009. Salon ini melayani jasa pemakaian jilbab, beserta variasinya sesuai keinginan konsumen. Persis salon yang melayani pemakaian sanggul untuk acara resmi.

“Memakai jilbab itu tidak sembarangan. Bentuk wajah dan kenyamanan harus diperhatikan. Kadang ada yang pakai jilbab, lalu tiba-tiba merasa pusing. Itu bisa saja terjadi pada pemakaian jilbab yang kurang nyaman,” ujar Susi yang optimistis pada usaha baru ini. Target salon jilbab adalah untuk wanita yang mau datang ke suatu acara resmi, dan mahasiswi yang berwisuda memakai jilbab.

Baik Al Fath maupun Savannah sepakat menawarkan produk busananya dengan pakem yang khas. Karakter masyarakat Solo saat ini, menurut Susi, sudah ada kesadaran untuk berjilbab. Ini peluang besar. Pada pemilihan warna busana, sangat memperhatikan kondisi warna kulit.

Adapun catatan Santi, kosumen Solo cenderung menyukai warna-warna kalem dan cerah. Warna gelap, kurang disukai.
***
Bagaimana penjualan buku-buku Islami? Pasti melonjak di kala Ramadan. Namun, kenaikan kali ini hanya pada nilai transaksi. Jumlah eksemplar yang terjual bisa dikatakan menurun.

Penyebabnya adalah kenaikan harga kertas beberapa waktu lalu. Akibatnya, harga buku naik 15-20%. Otomatis secara eksemplar pun menurun. “Dari perjalanan sejak awal tahun 2009, penjualan buku Islam mengalami kelesuan.

Sebenarnya tanda-tanda sudah terlihat saat Agustus tahun lalu. Bahkan, ketika harga buku diobral di pameran pun, kurang laku. Mungkin, terlalu banyak pameran juga barangkali,” kata M.A. Sutyaji, Manajer Toko Buku Arafah. Ramadan kali ini kenaikan omset diperkirakan tidak terlalu tinggi.

Faktor kejenuhan diduga turut andil. Banyak buku Islam di pasaran adalah hasil terjemahan dari penulis dari Timur Tengah. Mereka tidak menerapkan lisensi khusus. Karya para penulis itu boleh disebarluaskan berbagai penerbit tanpa perlu membayar royalti. Penerbit cukup minta izin dan tinggal mencetak.

Akibatnya, muncul buku dengan berbagai judul, padahal isinya dari satu sumber buku sama. Konsumen akhirnya kecewa, lantaran judul berlainan padahal isinya sejenis. Faktor ini jadi hambatan dalam mempromosikan buku Islam.

Penerbit buku umum, terutama buku pelajaran, ada pula yang tertarik menerbitkan buku bertema Islami. “Namun efeknya juga bisa membuat jenuh pembaca. Minat baca terhadap buku Islami, sebenarnya cukup tinggi, namun perlu variasi dari isi dan tema yang ditawarkan. Bukan buku dengan aneka judul, tapi isinya seragam,” ujar Sutyaji.
Biasanya, buku yang dicari konsumen saat Ramadan adalah tuntunan praktis atau lebih dikenal dengan sebutan buku Islam populer. Misalnya, buku fikih, ibadah, dan penyucian hati (taskiyah). Konsumen cenderung menyukai bacaan yang bisa langsung dipraktekkan.

Sekitar 15-20 judul baru tersedia tiap bulan di Toko Arafah. Sekalipun selera buku Ramadan berkenaan dengan tuntunan praktis, pada hari biasa, justru buku yang menjadi “kitab induk” malah lebih banyak terjual.

Kitab Induk adalah sebutan buku pegangan umat Islam dalam memahami ajaran Islam. Misalnya, Tafsir Ibnu Katsir, Al ‘Umm karya Imam Syafi’i, dan kitab karya ulama terkenal (khibar) lainnya. Buku ini tersedia dalam tulisan arab gundul maupun edisi terjemahan. Pembelinya umumnya santri dan mahasiswa.

“Dalam sebulan, omset penjualan buku berklasifikasi kitab induk bisa mencapai Rp 50 juta. Nilai ini mengalahkan penjualan buku-buku Islam lainnya di tempat kami,” kata Sutyaji. Harga per eksemplarnya memang sedikit lebih mahal, sekitar Rp 60 ribu.
Buku-buku Islam populer kebanyakan dibanderol Rp 30 ribuan. Arafah setiap bulan mendata sekitar 10 buku yang best seller. Lima peringkat teratas setidaknya terjual sekitar 30 sampai 100 eksemplar.

Program diskon jadi salah satu senjata menarik. Di hari biasa, buku-buku Islam di Arafah didiskon 15-20%. “Ramadan ini kami menggelar bursa buku yang bekerja sama dengan penerbit. Keistimewaannya, harga netto setelah diskon tadi, masih kami berikan tambahan diskon 5-10 persen,” tutur Sutyaji.

Diskon yang tinggi tak membuat rugi toko atau penerbit? “Penerbit itu mau memberi diskon sampai 70 persen sekalipun, dia tidak rugi, kok,” kata Sutyaji yang memiliki enam karyawan.

(Dimuat Majalah Saudagar edisi Oktober 2009)

Tidak Ribet Jual Beli Barang

BERBISNIS lewat internet jadi pilihan menarik. Pembeli tidak direpotkan ini-itu, dan barang dagangan tidak selalu harus terjangkau indera peraba. Asyiknya pula, berbelanja lewat toko online dapat bertransaksi tanpa perlu beranjak dari tempat duduk.

Anda tinggal berkoneksi lewat internet, lalu barang dan spesifikasi tersebut terpampang di layar komputer. Jika oke, tinggal pesan, bayar, dan barang akan diantar ke rumah. Pembayaran bisa dilakukan via ATM. Jika ragu, bisa dieliminasi lewat internet banking.

Meleknya masyarakat pada internet memang jadi peluang bagi penjual. Hendrawan Kustrijoko Saraswo adalah salah seorang pemilik toko online. Dia membawa konsep Pasar Klewer dalam menjual produk melalui website www.grosirpasarklewer.com. Pekerjaan ini dilakoni secara total setelah keluar dari job-nya di Jakarta tahun lalu. “Saya lihat pasar internet ini peluangnya sangat besar,” kata Koko, panggilan Hendrawan.

Koko terinspirasi dari seorang pengusaha yang membuka toko online. Awalnya ia memang hobi berselancar di berbagai website jual-beli. Tekad pun dia bulatkan untuk mempelajari seluk beluk perdagangan internet.

Ia memilih konsep Pasar Klewer--ikon Kota Solo--yang juga kediamannya. Maka, yang dijual Koko tidak lepas dari busana keseharian dan lebih tersegmen. Kesan Pasar Klewer adalah jualan barang murah tapi berkualitas memadai. Tidak heran jika busana yang ditawarkan Koko mulai dari Rp 10 ribu sampai Rp 80 ribu. Itu pun bisa diretur bila terjadi cacat pabrik. Murah, bukan?

Selain menjual keunikan Pasar Klewer di website-nya, Koko mempunyai alasan lain terhadap pemilihan produk yang dijual. Kemudahan pengiriman barang turut pula diperhatikan. Semakin barang mudah dikemas, maka pengiriman ke pembeli tidak membutuhkan waktu lama. “Perlu juga memilih jasa ekspedisi yang bonafit agar barang cepat diterima oleh pembeli,” ujarnya.

Melalui beberapa jasa ekspedisi yang dipakainya, barang bisa sampai ke pembeli berselang dua hari dari pemesanan, untuk wilayah Jawa. Pemesanan dari luar Jawa waktunya bisa lebih dari itu, tergantung jarak dan kemampuan dari jasa ekspedisi.
Alur jual beli di toko online Koko cukup mudah. Pembeli tinggal membuka website, lalu memilih barang-barang yang dikehendaki. Anda ingin membeli? Isi saja formulir pembelian yang ada, berupa data pembeli dan spesifikasi barang yang dipesan. Berhubung penjualan grosir, maka minimal pembelian tiga potong baju.

Bila formulir pesanan sudah diisi, pihak Koko akan mengkonfirmasi balik kepada pembeli perihal jumlah uang yang harus dibayarkan dan biaya pengiriman melalui e-mail. Setelah itu pembeli, tinggal membayar ke rekening tertentu dan menunggu barang di alamat yang tertera. Jika pembayaran diterima sebelum pukul 13.00, hari itu pula barang bisa dikirimkan. Jika lewat dari jam tersebut, barang dikirim esok harinya.

“Bagi pelaku bisnis online, memiliki rekening yang bisa diakses lewat internet banking sangat diperlukan. Kita bisa cek saldo secara real time. Jadi, kita bisa memantau apakah transfer dari pembeli sudah sampai atau belum, tanpa perlu mendatangi bank dan minta print out buku dulu,” ucap Koko.

Pembeli tidak hanya bisa membayar lewat transfer bank atau ATM, juga bisa memanfaatkan layanan transfer online nonbank. Misalnya, jasa wesel Western Union atau jasa Paypal. Makin banyak kemudahan pembayaran, keleluasaan pembeli untuk bertransaksi makin terpenuhi.

Koko dibantu tujuh karyawan. Mereka terbagi atas pekerjaan manajemen web dan administrasi, gudang, fotografi, dan suplai barang. Koko sendiri lebih banyak menghabiskan waktu untuk melakukan search engine optimizer (SEO).

SEO adalah langkah-langkah untuk mengusahakan sebuah website mampu tampil, minimal pada halaman pertama sebuah search engine atau mesin pencari. Syukur-syukur, bisa menduduki urutan pertama pada halaman awal pula. Biasanya, pengguna internet akan memanfaatkan search engine untuk mempercepat kerja mereka mencari website-website dengan kata kunci tertentu. Google dan Yahoo adalah beberapa contoh dari search engine.

“Website grosir pasar klewer sudah bisa berada di halaman pertama untuk Google dengan kata kunci grosir, grosir pakaian, dan grosir baju,” ujar Koko dengan nada bangga.

Sekalipun Koko mengawali bisnis ini setahun lalu--tanpa outlet--dia mengaku pembeli di toko online bertambah ramai. Pada masa launching Mei 2008, pembeli hanya sekitar sembilan orang per bulan. Namun, setelah hampir 1,5 tahun berjalan, pembeli sudah mencapai rata-rata 500 orang per bulan, dengan jumlah pembelian rata-rata per orang Rp 100 ribu. Pembelinya tersebar di Jawa, Sumatera, Bali, sampai Kalimantan.

Pengunjung website grosir pasar klewer juga sudah mencapai 10-15 ribu user per bulan. Tingginya angka ini berpotensi sebagai media iklan. Tapi, Koko tidak terlalu berobsesi pada penjualan iklan. Jika ada yang ingin pasang banner iklan di websitenya, ia mematok tarif 200 ribu per tiga bulan. Untuk tulisan link (bisa mengakses ke alamat lain) dia menggratiskan.

Bagi lelaki kelahiran 12 Juni 1981 ini, penjualan lewat website terhitung sangat menghemat biaya promosi. Mendaftarkan website ke search engine, direktori, jejaring sosial, milis, hingga iklan online yang bertaburan di dunia maya, sudah bisa dijadikan promosi yang murah.

Memang, saat merintis, Koko aktif pula memasarkan websitenya via email atau beriklan di majalah. Namun ketika website sudah dikenal, promosi jadi lebih efisien. Konsumen pun lebih mudah menemukan barang yang diinginkannya lewat internet.

Pemangkasan biaya marketing dan promosi ini memungkinkan harga barang dijual lebih murah dari pasaran. Hanya saja untuk memudahkan konsumen mengenali produk, perlu penjelasan detail yang disampaikan di website. “Misalnya, dalam busana yang kami jual disertakan penjelasan mengenai bentuk kerah, bahan, warna, dan kancing. Kita harus pandai membuat penjelasan seolah-olah pembeli merasakannya langsung,” ucap suami Diah Nugraheni ini.

Agar pembeli percaya bahwa websitenya tidak menipu, Koko tidak menerapkan batasan pembelian. Kalau ada pembeli yang memesan tiga busana seharga total Rp 30 ribu pun dilayani. Ini sekaligus turut memberi penjelasan kepada pembeli tentang kualitas barang yang dijualnya.

Hambatan yang dialami Koko kini lebih pada permodalan. Makin banyak modal yang digunakan, makin tinggi pula peluang untuk mendapatkan omset yang besar. Modal lebih banyak dipakai untuk kulakan barang yang dijual. Stok yang banyak dan beragam akan memberikan pilihan yang lebih banyak pula pada pembeli.

Memang jualan di toko online bisa diakali dengan menyediakan barang setelah ada pesanan. Namun, jenis barang yang mengikuti mode, seperti busana, cara penjualan ini berisiko. Bisa jadi barang yang dipesan, tidak ada lagi di pasaran. Atau, bisa pula kesulitan mencari barang pesanan, sehingga pengiriman barang ke pembeli menjadi terlambat. Langkah paling aman jualan barang yang mudah berubah mode adalah menyediakan stok sendiri.

(Dimuat di Majalah Saudagar edisi Oktober 2009)

Box Unik Karya Ika dan Dwi

Suatu benda yang terbungkus rapi dan tampil beda, pasti sedap dipandang. Kado pernikahan, misalnya, akan terasa istimewa jika dibentuk dengan sentuhan unik, kendati sekarang ini kado amplop dianggap praktis dan lebih sesuai dengan kebutuhan pengantin baru.

Adalah Ika Yuliarti beserta temannya, yang suatu hari mau menghadiri pernikahan sahabat mereka. Ika ingin memberi kado kenangan, dan tinggal mencari wadahnya. Dia pun jalan-jalan ke sebuah pusat perbelanjaan. “Gila. Box kecil saja harganya sudah Rp 40 ribu,” ujar Ika, seperti tak percaya.

Maka, Ika pulang dengan tangan kosong. Ia putuskan sendiri membuat box kado sembari memanfaatkan imajinasinya. Tak berhenti di sini, Ika “keterusan” mengemas barang jadi sebuah bisnis. Bersama Nadia, Adit, “Breng”, dan Ono, bisnis box packaging digagas. Bisnis ini pun bergulir, melayani pesanan kecil-kecilan teman-teman.

Langkah Dwi Cahyono, 30 tahun, berbeda pula. Awalnya ia sempat bingung lantaran tempat kerjanya lagi surut. Dia pun keluar. Di tempat kerjanya itu, Dwi menangani bisnis box packaging di bagian finishing. Karena kepepet, Dwi memaksakan diri terjun di bisnis yang sama.

Terus terang Dwi buta soal cara memproduksi. Tapi, tekadnya yang kuat memaksa dia untuk belajar. Dwi maupun Ika dan kawan-kawan memulai bisnis ini sejak setahun lalu. Ternyata, bisnis ini cukup diminati konsumen. Perseorangan maupun perusahaan perlu layanan packaging.

Packaging adalah bisnis pengemasan barang. Setelah dikemas, sebuah tampilan barang punya nilai tambah. Unik dan menarik. Seseorang menggunakan jasa box packaging, biasa untuk kebutuhan pribadi. Misalnya, pengemasan kado, membuat wadah sepatu, wadah tata rias, wadah aksesoris, dan sebagainya. Bisnis packaging biasanya bukan produk massal.

Jasa packaging dipakai untuk menambah nilai promosi. Dwi, misalnya, menerima order dari perusahaan rokok berkait packaging promosi. Dibuatlah kemasan promosi rokok yang ada korek apinya. Produk yang akan dilaunching juga acap memakai jasa packaging, dan jumlah ribuan pieces.

Bahan utama box packaging adalah kertas. Yaitu jenis kertas vensy dengan ketebalan tertentu. Ini kertas impor yang cukup mahal. Per meter sekitar Rp 12 ribu – Rp 120 ribu. Semakin mahal, kualitasnya makin bagus. “Maka, saat bernegosiasi dengan klien, harus dipastikan dulu jenis kertasnya,” ujar Dwi.

Kunci utama sebelum mengerjakan pesanan adalah menemukan pola box. Biasanya klien minta dibuatkan box berbentuk tertentu. Keinginan itu diterjemahkan dengan sebuah pola utama. Jika sudah oke, pengerjaan berikutnya lebih mudah. Penemuan pola akan terasa lebih mudah jika sudah terbiasa.

Bahan finishing tiap cover berbeda-beda, tergantung kesepakatan dengan klien. Bahan untuk finishing, biasanya, berubah sesuai mode pada eranya. Tahun 1999-2002, misalnya, saat bisnis ini booming di Jakarta, bahan finishing berkonsep natural, setelah sebelumnya banyak memakai cover daur ulang. Bahan-bahan alam pun dipakai.

“Saya dulu memanfaatkan gedebog pisang dan daun waru untuk finishing. Konsep natural kemudian tergeser oleh konsep cover kain, sejak 2002-2006. Dan, sejak 2006 sampai sekarang, masih didominasi finishing dengan bahan kain dan natural,” papar Dwi yang menawarkan karya-karyanya di kaki lima saat mengawali usaha. Ia memprediksi pemakaian bahan daur ulang sebagai cover akan kembali ngetren tapi dengan konsep yang lebih beda.

Soal promosi, Ika dan Dwi mengandalkan getok tular. Sekali pun demikian, keduanya juga aktif mengenalkan usaha lewat internet. Ika memajang hasil karya bersama teman-temannya melalui facebook dan blog. Intinya, agar konsumen setidaknya tahu eksistensi mereka.

Dwi yang memulai usaha di kaki lima, sempat pula menjajakan barang kerajinan, sebelum link usahanya terbentuk. Rencananya, Dwi ingin kerja sekaligus usaha. Tapi, ketidakfokusan itu membuat usahanya keteteran, sebab pesanan packaging makin banyak.
Apa boleh buat, Dwi keluar dari kerja. Ia fokus ke bisnis packaging dengan menggandeng dua rekannya. Setelah itu, promosi lebih banyak memanfaatkan dari mulut para konsumen yang puas atas hasil kerjanya.

Modal usaha ini tidak banyak. Yang penting, otak harus encer untuk menelorkan berbagai kreativitas merancang box kemasan. “Modal saya dan teman-teman waktu itu Rp 900 ribu, urunan bersama teman-teman,” ucap Ika.

Modal Dwi malah hanya Rp 200 ribu. Kini, bisnisnya sudah menghasilkan laba pemasukan minimal Rp 6 juta per bulan. Itu belum termasuk pesanan insidentil di luar klien loyal.

Jadi, soal modal, menurut Dwi, bukan penghalang untuk terjun di bisnis ini. Bahkan, modal itu, sebenarnya bisa didapat dari klien sendiri. Mereka biasanya memberikan uang down payment (DP) yang bisa dipakai sebagai modal kerja. Soal bahan mentah, tidak perlu dana besar lagi.

Artinya, peluang ini menjanjikan. Namun kualitas jangan sampai disepelekan. Bisnis ini sangat rentan terhadap komplain konsumen. Dibutuhkan ketelitian dan ketelatenan tinggi. Jika kurang rapi, bisa-bisa konsumen menolak membayar dengan harga penuh.
Itulah yang dialami Ika. Dia harus menanggung risiko gara-gara ada box packagingnya yang tidak rapi. Kesepakatan awal, klien memesan 500 box dengan harga Rp 4 ribu per item. Setelah ada komplain, klien hanya mau membayar Rp 3.800 per box. Artinya, Rp 200 lebih murah dari kesepakatan.

“Tantangan bisnis box packaging memang ada pada tipe klien. Wajar bila klien tidak terima ketika hasil karya kita kurang memenuhi standar. Tapi, jika sudah ketemu klien bertipe perfeksionis, itu yang bikin kerjaan jadi tambah lama,” keluh Dwi.
Klien jenis ini seringkali melakukan perubahan mendadak, padahal box yang dibuat sebelumnya sudah sesuai kriteria pesanan. “Namanya juga klien, saya pun harus sabar mengikuti kemauannya,” imbuhnya.

Tidak ada patokan khusus soal harga box per item. Soalnya, tiap pesanan membawa konsekuensi tentang harga bahan, jenis bahan, detail, sampai finishing. Dan, tiap pesanan berbeda spesifikasi. Maka, komposisi harga jual pun negosiasi.
Dwi mengaku harga jual boxnya dua kali dari harga pokok produksi. Sedangkan Ika, enggan menyebutkan rumus harga jualnya. Ia hanya menyebut karyanya dijual mulai seribu sampai ratusan ribu rupiah.

Yang pasti, bisnis ini berpotensi jadi tumpuan hidup. Jika ditekuni, bisa pula menjadi sebuah usaha besar. “Kuncinya harus sabar, kreatif, produk yang berkualitas, dan selalu mengikuti perkembangan selera konsumen,” ujar Dwi.

Bisnis box packaging cukup ramai di Jakarta. Namun, di luar kota besar, masih jadi tantangan untuk dikembangkan. Anda berminat mencoba?
(Dimuat di Majalah Saudagar Edisi Oktober 2009)