Begitu kereta kelas ekonomi ini ngetem di stasiun Gombong, Kebumen, berbondong suasana gerbong menjadi layaknya pasar. Berbagai kegiatan bisnis berlangsung di situ. Persaingan bisnis pun cukup ketat mengingat jenis barang yang dijual nyaris sama.
Benar sekali bila Anda menebak jika penjaja makanan dan minuman yang mendominasi bisnis di gerbong kereta Logawa. Mereka menyediakan berbagai sajian makanan pengganjal perut. Menunya antara lain nasi pecel, ayam, rames, hingga gudeg. Makanan cemilan pun mudah ditemukan. Ada mendoan khas Banyumasan, sale pisang, tahu sumedang, jenang krasikan, gethuk goreng, dan aneka gorengan. Dari sisi minuman, air mineral menjadi favorit pilihan penumpang saat dahaga, di samping bisa didapatkan kopi hingga minuman sereal.
Tidak hanya bisnis makanan dan minuman yang bisa ditemui. Bisnis jasa pun turut menyemarakkan agenda bisnis di Logawa. Penyapu lantai gerbong, penyemprot pengharum ruangan, persewaan bantal, dan pengamen turut ambil bagian sekalipun jumlahnya sedikit.
Kondektur kereta tampaknya ikut “iri” bila tidak ambil bagian. Penumpang tanpa karcis bisa menyetor ke kondektur dengan tarif lebih murah dari harga normal. Lumayan bisa buat nambah persediaan pangan keluarga. Rezeki nomplok bila ada penumpang yang turut membawa motor di kereta. Mungkin sang penumpang mengira kereta Logawa seperti kereta kargo dengan tarif murah. Memang murah tarifnya. Cukup menyelipkan minimal 100 ribu ke petugas, motor sudah bisa diangkut di gerbong. Lagi-lagi “peluang” bisnis buat kondektur.
Pemasaran bisnis di kereta memang susah susah susah alias tidak gampang. Banyak pedagang yang mondar-mandir antar gerbong menawarkan dagangan ternyata tidak cepat laku. Namun ada pula yang sedikit demi sedikit dagangan sebagian mereka yang laku. Ada pula yang kurang lebih dua jam langsung ludes dagangannya. Apa rahasia dia?
“Silahkan dilihat dulu getuk gorengnya. Murah, cuma seribu. Kalau ingin mencicipi silakan dibuka dan rasakan. Beli sepuluh gratis satu,” ujar penjaja getuk goreng sokaraja.
Resep larisnya penjualan getuk ini terletak pada keberanian penjual untuk memastikan produknya enak dan belum basi. Tidak banyak pedagang di dalam kereta yang mencoba cara penjual getuk bertubuh kurus nan tinggi itu. Hasilnya dari empat dos getuk seribuan yang ditawarkan, ludes dalam waktu kurang dari dua jam. Hebat! Dia pun masih bisa memberikan gratis getuknya kepada pengemis yang ikut mengais rezeki di Logawa. Sudah sukses berjualan, ternyata dermawan juga sang Bapak.
Begitulah dinamika bisnis di dalam kereta Logawa. LiputanOne hanya melakukan pengamatan dari Cilacap menuju Yogya. Bila diteruskan hingga ke Jatim barangkali masih banyak pelaku bisnis dari akar rumput lain yang menggantungkan rezekinya di dalam gerbong kereta. Semakin jauh kereta melangkah, makin fluktuatif jumlah penumpang dan pelaku bisnis yang ada.
Muncul pertanyaan, kira-kira berapa uang yang beredar selama satu kali trayek Logawa? Bila diasumsikan ada 100 pelaku bisnis dengan omset 100 ribu rupiah per orang, maka satu kali trayek ada uang beredar sekitar 10 juta rupiah. Kereta Logawa melayani dua kali trayek setiap harim sehingga asumsi per hari ada uang beredar 20 juta di sana. Kereta kelas ekonomi memang tidak bisa dipandang remeh. Ini baru kereta Logawa, belum kereta ekonomi lainnya.