Pesta demokrasi tidak lama lagi digelar. Even lima tahunan tersebut senantiasa berujung pada penggunaan dana yang besar. Bagi caleg dan partai, misalnya, dana besar dibutuhkan untuk sosialiasasi program dan personal demi mendekatkan diri ke rakyat. Tidak mencengangkan bila mendekati even pemilu, banyak ditemukan media promosi terpampang sepanjang jalan.
Upaya sosialisasi juga ditempuh dengan membuat kaos massal. Partai dan caleg sering memesan kaos dalam jumlah besar untuk dibagikan. Begitu pula dengan stiker dan pin, banyak disematkan para kader di berbagai aset pribadinya untuk sekedar sosialisasi nomer urut partai atau caleg.
Pergerakan uang dalam bisnis pemilu ini tidak sedikit. Evergreen, misalnya, mendapat order kaos melimpah sejak akhir 2008 dari para caleg dan partai. Namun perusahaan konveksi di Solo ini tidak mengerjakan kaos partai yang murah dan tipis.
“Saya memang selektif dalam menerima order. Saya terima order untuk kaos dengan kelas medium ke atas,” ujar Zen Zulkarnaen, pemilik CV Evergreen. “Biasanya mereka memilih kaos yang seharga 17 ribu per buah. Itu harga yang paling murah di sini,” lanjutnya.
Zen sengaja tidak bermain di order kaos partai massal yang tipis. Menurutnya, pemain kaos massal nan murah ini sudah terlalu banyak. Dengan kaos berkualitas menengah ke atas, Zen menengarai, justru yang akan mengenakannya adalah team sukses atau kader muda yang mementingkan penampilan.
“Mungkin harga yang saya tawarkan bukan yang paling murah. Namun saya memberikan desain yang sedikit berbeda dengan yang lain,” kata Zen. “Biasanya kaos saya untuk menjaring anak muda atau dipakai di lingkungan tim sukses. Sekalipun barang saya menengah ke atas dengan pesanan tidak terlalu banyak, namun lebih tersegmentasi,” tambahnya.
Setidaknya pada even pemilu, Zen bisa mendapatkan 4000 hingga 5000 pesanan kaos per bulan. Pesanan tersebut datang dari dalam kota hingga luar Jawa. Dengan jumlah sebesar itu, Zen mengaku bisa mendongkrak omset penjualan hingga 40 persen dari omset hari biasa.
“Pesanan tersebut biasanya berlangsung terus sampai menjelang pemilu,” ujar pengusaha yang memulai konveksinya sejak lima tahun yang lalu itu.
Bukan Zen saja yang merasakan legitnya bisnis pemilu. Print World, jasa digital printing, turut diserbu order dari caleg dan partai di Solo. Kebanyakan order berupa flex banner, sering disebut MMT, untuk dipajang di jalanan dalam berbagai bentuk.
“Setidaknya lebih dari 3000 meter persegi MMT telah kami cetak. Satu caleg bisa pesan hingga 1000 meter. Ada pula yang pesan hingga 2000 meter. Dari caleg lokal cukup banyak. Dari caleg luar kota juga ada, seperti dari Salatiga dan Sragen,” ujar Iwan Cahyo Nugroho, marketing officer Print World, Solo.
Print World terbantu dengan program promo launching. Sejak kehadirannya pada 6 Januari 2009 lalu, Print World mematok harga untuk flex banner sebesar 15 ribu per meter hingga akhir Januari. Kontan banyak caleg dan partai berbondong teken order di tempat ini.
“Sejak mulai buka 6 Januari lalu, kami langsung kebanjiran order. Ini bisa jadi karena dukungan iklan banner tentang harga promo yang kami pasang di jalan. Setelah promo berakhir, kami menerapkan harga 25 ribu per meter persegi,” ujar Iwan.
Iwan mengaku banyaknya order ini membuat perusahaan kewalahan. Banyaknya order yang terdaftar, beban perusahaan menjadi overload. Alhasil pesanan baru bisa jadi dua hingga tiga hari setelah dipesan.
“Kami mempunyai dua mesin. Mesin pertama bisa mencetak 30 meter per jam. Mesin kedua bisa mencetak 70 meter per jam. Selama melayani pesanan untuk pemilu, mesin bekerja selama 24 jam. Sekalipun begitu, kami belum bisa memenuhi semua order yang overload,” kata Iwan.
Bisnis atribut pemilu memang menggiurkan. Omset besar bisa didapatkan selama pra pelaksanaan even ini. Namun risiko yang dihadapi pun juga besar. Banyak ditemukan kasus, pemesan dari tim sukses caleg atau partai, mangkir dalam masalah pelunasan order.
Strategi dalam sistem pembayaran order pun diperketat. Zen mengambil langkah dengan mewajibkan pemesan untuk memberikan down payment (DP) 50 persen di awal.
“Jika pekerjaan telah selesai sekian persen, harus ada pembayaran lagi. Begitu seterusnya hingga lunas. Ini untuk menghindari konsumen yang berniat ngemplang (mangkir –red),” ujar Zen.
Langkah dari Print World beda lagi. “Semua pesanan harus dibayar cash di depan. Ini untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan,” ujar Iwan.
Upaya sosialisasi juga ditempuh dengan membuat kaos massal. Partai dan caleg sering memesan kaos dalam jumlah besar untuk dibagikan. Begitu pula dengan stiker dan pin, banyak disematkan para kader di berbagai aset pribadinya untuk sekedar sosialisasi nomer urut partai atau caleg.
Pergerakan uang dalam bisnis pemilu ini tidak sedikit. Evergreen, misalnya, mendapat order kaos melimpah sejak akhir 2008 dari para caleg dan partai. Namun perusahaan konveksi di Solo ini tidak mengerjakan kaos partai yang murah dan tipis.
“Saya memang selektif dalam menerima order. Saya terima order untuk kaos dengan kelas medium ke atas,” ujar Zen Zulkarnaen, pemilik CV Evergreen. “Biasanya mereka memilih kaos yang seharga 17 ribu per buah. Itu harga yang paling murah di sini,” lanjutnya.
Zen sengaja tidak bermain di order kaos partai massal yang tipis. Menurutnya, pemain kaos massal nan murah ini sudah terlalu banyak. Dengan kaos berkualitas menengah ke atas, Zen menengarai, justru yang akan mengenakannya adalah team sukses atau kader muda yang mementingkan penampilan.
“Mungkin harga yang saya tawarkan bukan yang paling murah. Namun saya memberikan desain yang sedikit berbeda dengan yang lain,” kata Zen. “Biasanya kaos saya untuk menjaring anak muda atau dipakai di lingkungan tim sukses. Sekalipun barang saya menengah ke atas dengan pesanan tidak terlalu banyak, namun lebih tersegmentasi,” tambahnya.
Setidaknya pada even pemilu, Zen bisa mendapatkan 4000 hingga 5000 pesanan kaos per bulan. Pesanan tersebut datang dari dalam kota hingga luar Jawa. Dengan jumlah sebesar itu, Zen mengaku bisa mendongkrak omset penjualan hingga 40 persen dari omset hari biasa.
“Pesanan tersebut biasanya berlangsung terus sampai menjelang pemilu,” ujar pengusaha yang memulai konveksinya sejak lima tahun yang lalu itu.
Bukan Zen saja yang merasakan legitnya bisnis pemilu. Print World, jasa digital printing, turut diserbu order dari caleg dan partai di Solo. Kebanyakan order berupa flex banner, sering disebut MMT, untuk dipajang di jalanan dalam berbagai bentuk.
“Setidaknya lebih dari 3000 meter persegi MMT telah kami cetak. Satu caleg bisa pesan hingga 1000 meter. Ada pula yang pesan hingga 2000 meter. Dari caleg lokal cukup banyak. Dari caleg luar kota juga ada, seperti dari Salatiga dan Sragen,” ujar Iwan Cahyo Nugroho, marketing officer Print World, Solo.
Print World terbantu dengan program promo launching. Sejak kehadirannya pada 6 Januari 2009 lalu, Print World mematok harga untuk flex banner sebesar 15 ribu per meter hingga akhir Januari. Kontan banyak caleg dan partai berbondong teken order di tempat ini.
“Sejak mulai buka 6 Januari lalu, kami langsung kebanjiran order. Ini bisa jadi karena dukungan iklan banner tentang harga promo yang kami pasang di jalan. Setelah promo berakhir, kami menerapkan harga 25 ribu per meter persegi,” ujar Iwan.
Iwan mengaku banyaknya order ini membuat perusahaan kewalahan. Banyaknya order yang terdaftar, beban perusahaan menjadi overload. Alhasil pesanan baru bisa jadi dua hingga tiga hari setelah dipesan.
“Kami mempunyai dua mesin. Mesin pertama bisa mencetak 30 meter per jam. Mesin kedua bisa mencetak 70 meter per jam. Selama melayani pesanan untuk pemilu, mesin bekerja selama 24 jam. Sekalipun begitu, kami belum bisa memenuhi semua order yang overload,” kata Iwan.
Bisnis atribut pemilu memang menggiurkan. Omset besar bisa didapatkan selama pra pelaksanaan even ini. Namun risiko yang dihadapi pun juga besar. Banyak ditemukan kasus, pemesan dari tim sukses caleg atau partai, mangkir dalam masalah pelunasan order.
Strategi dalam sistem pembayaran order pun diperketat. Zen mengambil langkah dengan mewajibkan pemesan untuk memberikan down payment (DP) 50 persen di awal.
“Jika pekerjaan telah selesai sekian persen, harus ada pembayaran lagi. Begitu seterusnya hingga lunas. Ini untuk menghindari konsumen yang berniat ngemplang (mangkir –red),” ujar Zen.
Langkah dari Print World beda lagi. “Semua pesanan harus dibayar cash di depan. Ini untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan,” ujar Iwan.