Sistem pendidikan di Indonesia masih terjebak dalam pencitraan output SDM yang kolot. Disadari atau tidak, masih banyak orang beranggapan jika sekolah itu untuk mendapatkan pekerjaan. Syukur-syukur jika bisa menempuh pendidikan di universitas atau sekolah tinggi, maka harapan mendapatkan pekerjaan di “ladang basah” penuh uang pun terbuka lebar.
Semenjak sekolah dasar, murid-murid sering direcoki dengan aktivitas non produktif. Misalnya pada pelajaran membaca di kelas satu, kerap terdengar kalimat, “Ibu pergi ke pasar membeli sayur”. Persepsi murid pun akhirnya menganggap kalau seseorang ke pasar adalah untuk berbelanja. Jika diteruskan bisa menjadi mental konsumerisme di kemudian hari.
Persepsi ini bisa bermakna produktif dengan mengubah kalimat menjadi, “Ibu pergi ke pasar untuk berjualan.” Kata “berjualan” menunjukkan aktivitas produktif. Penekanannya pada kemauan seseorang untuk mampu bertarung menghidupi diri tanpa bergantung penuh pada orang lain.
Jika ditanamkan sejak dini, boleh jadi penganggur terpelajar akan tersulut jiwa enterpreneurnya. Mereka tidak lantas manja menengadahkan tangan meminta pekerjaan kepada pengusaha yang sebagian bermental kapitalis. Artinya, mereka dibayar murah tapi diperas tenaganya. Kreativitas mereka dikekang layaknya robot demi membuat kaya pemilik usaha, tanpa kompensasi layak.
Saat ini perekonomian dunia mulai bergeser ke arah ekonomi kreatif. Pada Januari 2000, perkiraan nilai ekonomi kreatif dunia sebesar US$ 2,24 triliun dan tumbuh 5 persen per tahun. Jika diproyeksikan hingga tahun 2020 memiliki tingkat pertumbuhan yang sama, yaitu 5 persen, maka nilai ekonomi kreatif ini akan mencapai US$ 6,1 Triliun (Howkins, 2001). Intensivikasi imajinasi dan kreativitas pada kegiatan ekonomi, bisnis, pendidikan, di masa depan semakin besar.
Industri kreatif bermula dari ide kreativitas manusia. Bedanya dengan industri bermodal bahan baku fisik, industri kreatif bermodal ide-ide kreatif, talenta, dan keterampilan. Ide menjadi sumber daya yang selalu terbarukan. Ini bisa dilakukan tiap orang. Tinggal bagaimana seseorang mau untuk mengambil kesempatan ini.
Indonesia sendiri memiliki 14 sektor industri kreatif yang turut menyumbang Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 6,3 persen dari total PDB nasional pada rentang 2002-2006. Industri kreatif tersebut adalah periklanan; arsitektur; pasar seni barang dan antik; kerajinan; desain; fesyen; film, video, dan fotografi; permainan interaktif; musik; seni pertunjukan; penerbitan dan percetakan; layanan komputer dan piranti lunak; radio dan televisi; riset dan pengembangan.
Adakah contoh generasi muda yang cukup sukses di industri kreatif? Jawabannya: banyak! LiputanOne mengambil contoh Yusuf Arif Rahmanto. Jika Anda salah satu pengguna program java “YM Tiny” di ponsel, maka dia adalah kreatornya. Saat LiputanOne mengobrol dengan Yusuf, program YM Tiny telah didownload lebih dari 650 ribu kali melalui internet secara gratis. Kini Yusuf tengah mengembangkan software distribusi pulsa “Otomax” yang berorientasi profit.
Sebentar lagi Indonesia akan memiliki pemimpin baru. Entah siapa yang bertarung, maka visi, misi, dan programnya sebaiknya mampu menangkap peluang besar dalam dunia ekonomi kreatif ini. Masyarakat Indonesia nantinya juga akan dihadapkan pada persaingan ekonomi global. Berlakulah hukum rimba, siapa yang kuat maka dia yang menang.
Oleh karena itu, mulai sekarang perlu ada program pemerintah yang menunjang kemandirian masyarakat. Generasi muda jangan lagi direcoki dengan mental menggantungkan pekerjaan kepada orang lain. Sektor riil akan bergerak cepat jika makin banyak yang terjun di dunia usaha. Kala pemerintah konsen dengan pertumbuhan sektor riil, otomatis penyerapan tenaga kerja tinggi. Program pemerintah bukan lagi menyediakan lapangan kerja semata, namun lebih banyak memberikan stimulan munculnya usaha-usaha baru yang lebih kreatif.
Pengangguran akan berbanding lurus mengikuti pertumbuhan sektor riil. Semakin bertambah dan berkembangnya sektor riil, maka pengangguran akan berkurang. Beranikah pemimpin Indonesia yang baru nanti mengambil peran di dunia kreatif? Kita lihat saja
Semenjak sekolah dasar, murid-murid sering direcoki dengan aktivitas non produktif. Misalnya pada pelajaran membaca di kelas satu, kerap terdengar kalimat, “Ibu pergi ke pasar membeli sayur”. Persepsi murid pun akhirnya menganggap kalau seseorang ke pasar adalah untuk berbelanja. Jika diteruskan bisa menjadi mental konsumerisme di kemudian hari.
Persepsi ini bisa bermakna produktif dengan mengubah kalimat menjadi, “Ibu pergi ke pasar untuk berjualan.” Kata “berjualan” menunjukkan aktivitas produktif. Penekanannya pada kemauan seseorang untuk mampu bertarung menghidupi diri tanpa bergantung penuh pada orang lain.
Jika ditanamkan sejak dini, boleh jadi penganggur terpelajar akan tersulut jiwa enterpreneurnya. Mereka tidak lantas manja menengadahkan tangan meminta pekerjaan kepada pengusaha yang sebagian bermental kapitalis. Artinya, mereka dibayar murah tapi diperas tenaganya. Kreativitas mereka dikekang layaknya robot demi membuat kaya pemilik usaha, tanpa kompensasi layak.
Saat ini perekonomian dunia mulai bergeser ke arah ekonomi kreatif. Pada Januari 2000, perkiraan nilai ekonomi kreatif dunia sebesar US$ 2,24 triliun dan tumbuh 5 persen per tahun. Jika diproyeksikan hingga tahun 2020 memiliki tingkat pertumbuhan yang sama, yaitu 5 persen, maka nilai ekonomi kreatif ini akan mencapai US$ 6,1 Triliun (Howkins, 2001). Intensivikasi imajinasi dan kreativitas pada kegiatan ekonomi, bisnis, pendidikan, di masa depan semakin besar.
Industri kreatif bermula dari ide kreativitas manusia. Bedanya dengan industri bermodal bahan baku fisik, industri kreatif bermodal ide-ide kreatif, talenta, dan keterampilan. Ide menjadi sumber daya yang selalu terbarukan. Ini bisa dilakukan tiap orang. Tinggal bagaimana seseorang mau untuk mengambil kesempatan ini.
Indonesia sendiri memiliki 14 sektor industri kreatif yang turut menyumbang Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 6,3 persen dari total PDB nasional pada rentang 2002-2006. Industri kreatif tersebut adalah periklanan; arsitektur; pasar seni barang dan antik; kerajinan; desain; fesyen; film, video, dan fotografi; permainan interaktif; musik; seni pertunjukan; penerbitan dan percetakan; layanan komputer dan piranti lunak; radio dan televisi; riset dan pengembangan.
Adakah contoh generasi muda yang cukup sukses di industri kreatif? Jawabannya: banyak! LiputanOne mengambil contoh Yusuf Arif Rahmanto. Jika Anda salah satu pengguna program java “YM Tiny” di ponsel, maka dia adalah kreatornya. Saat LiputanOne mengobrol dengan Yusuf, program YM Tiny telah didownload lebih dari 650 ribu kali melalui internet secara gratis. Kini Yusuf tengah mengembangkan software distribusi pulsa “Otomax” yang berorientasi profit.
Sebentar lagi Indonesia akan memiliki pemimpin baru. Entah siapa yang bertarung, maka visi, misi, dan programnya sebaiknya mampu menangkap peluang besar dalam dunia ekonomi kreatif ini. Masyarakat Indonesia nantinya juga akan dihadapkan pada persaingan ekonomi global. Berlakulah hukum rimba, siapa yang kuat maka dia yang menang.
Oleh karena itu, mulai sekarang perlu ada program pemerintah yang menunjang kemandirian masyarakat. Generasi muda jangan lagi direcoki dengan mental menggantungkan pekerjaan kepada orang lain. Sektor riil akan bergerak cepat jika makin banyak yang terjun di dunia usaha. Kala pemerintah konsen dengan pertumbuhan sektor riil, otomatis penyerapan tenaga kerja tinggi. Program pemerintah bukan lagi menyediakan lapangan kerja semata, namun lebih banyak memberikan stimulan munculnya usaha-usaha baru yang lebih kreatif.
Pengangguran akan berbanding lurus mengikuti pertumbuhan sektor riil. Semakin bertambah dan berkembangnya sektor riil, maka pengangguran akan berkurang. Beranikah pemimpin Indonesia yang baru nanti mengambil peran di dunia kreatif? Kita lihat saja