Lazada Indonesia

Menghadapi Bos Perfeksionis

Setiap karyawan pasti berharap memiliki pemimpin yang ideal. Atau setidaknya, mempunyai karakter yang mendekati pemimpin idaman. Secara psikologis, karyawan akan lebih senang bekerja untuk pemimpin yang memenuhi nilai-nilai subjektif tertentu, yang sesuai dengan keinginan mereka.

Namun, pada kenyataannya, karyawan seringkali tidak bisa memilih bos mereka. Beruntunglah karyawan yang mendapatkan bos berkriteria “baik”. Tapi, memiliki bos yang dikategorikan “buruk”, juga bukan berarti akhir dari segalanya.

Apakah Anda merasa tertekan dengan sikap bos yang selalu mengkritik hasil kerja Anda? Mungkin, maksud bos Anda baik. Dia memperhatikan setiap detail dan ingin hasil kerja Anda sempurna. Hanya saja, terkadang ada situasi yang membuat hal tersebut tidak memungkinkan untuk dilakukan.

Misalnya, saat deadline mendesak, tiba-tiba atasan Anda masih melakukan revisi. Bahkan, dia ingin merombak total pekerjaan yang sudah dikerjakan begitu lama. Memusingkan, bukan? Belum lagi, masih ditambah kritikan pedas yang cukup membuat panas telinga. Selain itu, Anda tidak leluasa bekerja karena selalu dipantau oleh sang bos yang menyimpan keraguan akan kemampuan Anda dalam mengerjakan pekerjaan tersebut.

Seorang yang perfeksionis ingin mengerjakan semuanya dengan sempurna. Dan, standar itu tidak hanya diterapkan pada dirinya, melainkan juga kepada orang lain. Jadi, ketika sesuatu tidak sempurna, maka sikapnya jadi negatif. Bahkan, jika suatu pekerjaan masih mendekati sempurna pun baginya tidak cukup.

Akibatnya, menutup peluang para staf dan pendukungnya untuk berkembang. Ketika bantuan staf benar-benar diperlukan, mereka tidak siap karena tidak pernah diberi kesempatan berlatih menerima tanggung jawab.

Sikap yang sering ditunjukkan seorang perfeksionis sebagai berikut:
•Sangat berkomitmen, bahkan sering berlebihan dan bisa mencapai terobsesi.
•Tidak suka mendelegasikan tugas bagi orang lain, atau kurang percaya pada kemampuan orang lain.
•Memiliki kesulitan untuk menghitung prioritas dengan sehat.
•Memiliki dorongan yang sangat besar untuk mengendalikan segala sesuatu.
•Berkompetisi dengan kuat, terdorong untuk menang dalam banyak hal, bahkan untuk hal-hal yang tidak berarti sekalipun.
•Memiliki standar yang sangat tinggi, bahkan cenderung tidak realistis.
•Sulit untuk fleksibel, cenderung kaku, dan menuntut orang lain dengan menggunakan standar yang tinggi.

Anda mungkin pernah merasa menjadi karyawan yang berhasil mencatatkan kinerja sempurna, mencapai target tinggi, namun tidak dinilai bagus oleh atasan. Atasan Anda ini mungkin termasuk kategori perfeksionis. Mereka beranggapan bahwa kinerja sempurna masih dapat dicapai, sehingga ia masih merasa tidak puas.

Masalahnya, mereka yang bertipe perfeksionis ini berpotensi mengakibatkan orang lain jadi tertekan untuk mengikuti standar sempurnanya. Oleh karena itu, Anda tidak perlu mengambil serius kata-katanya. Yang penting, Anda berhasil mencapai kinerja yang baik sesuai dengan ekspektasi yang diharapkan, meskipun tidak sempurna.

Lelah dengan segala kritikan dan lantas menyerah. bukanlah solusi pintar untuk karir Anda. Memutuskan untuk pindah kerja karena satu masalah ini justru bisa membuat curriculum vitae (CV) Anda “cacat”. Periode kerja yang terlalu singkat seringkali membuat calon employer meragukan kompetensi Anda. Jika Anda tahu triknya, bekerja untuk bos yang perfeksionis malah bisa memberikan pengalaman dan keterampilan tersendiri.

Orang yang perfeksionis biasanya memiliki standar sendiri bagaimana pekerjaan harus dilakukan. Usahakan Anda mengerti kebiasaan dan parameter kerja sempurna si bos terhadap setiap jenis pekerjaan. Perhatikan dengan seksama arahan dan petunjuknya, buat catatan sebagai panduan. Jangan ragu bertanya agar Anda mendapat gambaran sejelas-jelasnya sehingga dapat memenuhi ekspektasinya.

Bos Anda tidak akan melewatkan kesalahan sekecil apapun. Cobalah berpikir seperti seorang perfeksionis. Dan, cari kelemahan atau poin yang rawan kritikan dalam pekerjaan Anda. Mengkritisi diri sendiri sangat dibutuhkan untuk meminimalisasi kesalahan.

Memiliki bos yang perfeksionis membuat Anda benar-benar harus perhatian terhadap detil. Hindari kesalahan remeh seperti salah ketik, ketidakrapian, informasi yang tidak akurat, dan sebagainya, yang akan memicu masalah lebih besar nantinya. Jangan lupa lakukan check and recheck untuk setiap pekerjaan, sebelum Anda menyerahkannya untuk direview.

Jika mengikuti emosi, bertahan dengan bos yang selalu menuntut memang terasa melelahkan dan menjengkelkan. Namun, sebaiknya Anda tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang personal. Malah, anggap saja kritikan tersebut sebagai cambukan untuk menghasilkan pekerjaan yang lebih baik. Lihatlah setiap kritikan sebagai cara belajar untuk jadi karyawan yang lebih baik.

Jangan tunggu si bos mencari-cari kesalahan Anda. Sebisa mungkin berikan informasi sebanyak-banyaknya sebelum diminta atau ditanyakan. Hal ini sekaligus dapat memberi kesan Anda mampu dan antusias mengerjakan pekerjaan tersebut. Sehingga, bos Anda akhirnya percaya pada Anda.

Kompromi dan menyesuaikan diri dengan sikap bos yang perfeksionis bukan berarti Anda harus menuruti keputusannya secara buta. Jika berulangkali sikapnya tidak konsisten, mulai menjurus kepada ambisi pribadi, dan sudah mengganggu ritme kerja lainnya, maka inilah saatnya Anda mengatakan bahwa revisi dan rombak sudah harus dihentikan. Kemukakan alasan yang logis dan masuk akal. Dan, sampaikanlah dengan sopan.

Bagaimana bila tugas telah selesai dikerjakan, namun dia mengotot ingin melakukan sejumlah perbaikan yang sebenarnya tidak terlalu penting, hingga malam sebelum deadline? Sah-sah saja bila Anda membiarkannya memuaskan obsesinya seorang diri. Selama tuntutan pekerjaan sudah dipenuhi, tidak ada alasan untuk ikut mencurahkan waktu dan tenaga terlampau banyak untuk satu tugas. Ingat, Anda masih punya tugas lain yang menanti esok hari.

Michael S. Dobson, penulis buku Working with Difficult People, menyatakan, kunci menghadapi si perfeksionis adalah melancarkan jalur komunikasi Anda dengannya. Ketika menerima pembagian tugas kerja, ambil waktu untuk memperjelas ekspektasi dari masing-masing pihak. Jika atasan ingin Anda melakukan sesuatu dengan cara tertentu, mintalah dia menuliskan langkahnya secara step by step di atas kertas, hingga Anda benar-benar mengerti apa yang ia maksudkan. Bukan yang terkuat akan bertahan, namun yang paling mampu menyesuaikanlah yang akan sukses.

Makin Laku Gara-Gara Telur Busuk

Barangkali hanya sedikit orang yang mau melepas kemapanan hidupnya untuk mengejar cita-cita menjadi entrepreneur. Adalah Bob Sadino salah satu pelakunya. Sebelum usahanya menjadi besar dan tenar seperti saat ini, proses panjang dilaluinya dengan berjuang dalam keprihatinan. Padahal, dia awalnya pernah bekerja menjadi karyawan PT Unilever(1954-1955). Selanjutnya, menjadi karyawan Djakarta Lloyd di Amsterdam dan Hamburg (1950-1967).

Ketika 9 tahun dihabiskannya bekerja di Belanda dan Hamburg, sejak 1958, Bob merasa sangat rindu dengan tanah airnya. Dia pun memantapkan diri untuk kembali ke Indonesia. Bahkan, Bob bersedia hidup serba kekurangan dengan istrinya sekembalinya mereka. Padahal mereka tadinya hidup mapan dengan gaji yang cukup besar.

Bob ternyata jenuh jika harus bekerja di bawah tekanan orang lain. Bob pengen jadi bos. Dia lebih suka “menjadi kepala ikan teri daripada sebatas buntut ikan paus.” Karena itu, dia bertekad harus kerja apa saja untuk menghidupi diri sendiri dan istrinya.

Modal yang ia bawa dari Eropa, dua sedan Mercedes buatan 1960-an. Satu dijualnya untuk membeli sebidang tanah di Kemang, Jakarta Selatan, yang saat itu masih terhampar sawah dan kebun.

Tekad hidup mandiri mengantarkan Bob menjadi sopir taksi dengan memakai mobil sendiri yang belum dijualnya. Dasar lagi apes, mobil itu tabrakan dan hancur waktu disewakan. Hilang sudah kendaraannya untuk mencari sesuap nasi. Kesulitan hidup itu membuatnya menerima “profesi” baru sebagai tukang bangunan. Gajinya pun hanya Rp 100 per hari, kala itu. Depresi, sempat mewarnai hidup keluarga Bob.

Istrinya, Soelami Soejoed, yang berpengalaman sebagai sekretaris di luar negeri, sebenarnya bisa menyelamatkan keadaan dengan bekerja. Tetapi, Bob bersikeras. ''Sayalah kepala keluarga. Saya yang harus mencari nafkah,'' ujar lelaki kelahiran Tanjungkarang, Lampung, 9 Maret 1933.

Suatu hari, teman Bob menyarankan memelihara ayam untuk melawan depresi yang dialaminya. Bob lantas tertarik. Bisnis rumahannya pun dimulai. Ketika beternak ayam itu, muncul inspirasi untuk berwirausaha. Tidak jarang, Bob memperhatikan kehidupan ayam-ayam ternaknya. “Ayam saja bisa berjuang untuk hidup. Tentu manusia pun juga bisa,” kata pemilik nama lengkap Bambang Mustari Sadino ini.

Sebagai peternak ayam, Bob dan istrinya, setiap hari menjual beberapa kilogram telor. Dalam tempo satu setengah tahun, dia dan istrinya memiliki banyak pelangganan, terutama orang asing. Karena pernah tinggal dan bersosialisasi dengan orang mancanegara, mereka fasih berbahasa Inggris. Bob dan istrinya menetap di kawasan Kemang, Jakarta, yang banyak dihuni pula oleh orang asing.

Saat berkeliling menjual telur ayam, Bob sering mengatakan, ”Kalau telur saya busuk satu, saya akan ganti satu kilo.” Inilah jaminan Bob terhadap produk yang dijualnya.
Tapi, gara-gara slogan ini, muncul ide gilanya. Suatu hari Bob sengaja memasukkan satu butir telur dalam dagangannya. Telur busuk itu dimasukkan ke dalam pembelian seorang ibu yang cukup cerewet.

Keesokan hari, ibu itu marah dan minta ganti rugi ke Bob. Sesuai garansinya, maka telur tersebut langsung ditukar dengan satu kilogram telur dalam kondisi bagus. Wow, memang gila cara Bob bertransaksi.

Jangan salah sangka. Justru karena idenya ini, Bob dengan cepat menjadi terkenal di daerah si ibu cerewet itu. Gara-garanya, ibu tadi bercerita kepada tiap orang yang ditemuinya. ”Enak beli telur di Pak Bob. Dijamin, jika busuk satu ditukar sekilo,” kata si ibu cerewet. Langsung deh, laris manis telur Bob.

Apakah Bob memakai ilmu teori khusus untuk memajukan bisnis rumahannya ini? Sama sekali tidak. “Kalau Anda masih mengandalkan pemikiran hasil kuliahan, bakalan susah memahami pemikiran saya. Makanya, sebelum ngobrol bareng saya, tolong otak Anda dipindah ke dengkul dahulu, biar nyambung dengan saya,” tuturnya. Waduh, bingung, kan?!

Bob memang dikenal sebagai pengusaha “gila” yang sering menentang arus dari ilmu bisnis yang sering digelontorkan melalui teori-teori akademik maupun dunia perbukuan. "Saya selalu menganalogikan bisnis itu seperti sungai yang penuh kebebasan, tanpa perencanaan. Bahkan, tanpa arah tujuan yang hendak dicapai," kata pria yang khas dengan celana pendeknya itu,” kata pria yang khas dengan celana pendeknya itu.

Sikapnya ini mengantarkan Bob menuju kesuksesan. Perkembangan usahanya tumbuh pesat. Kini, Bob menjadi pemilik tunggal swalayan Kem Chicks. Setelah swalayan Bob berkembang, dia merambah ke agribisnis, khususnya holtikutura. Di situ, Bob mengelola kebun sayur mayur untuk konsumsi orang asing di Indonesia. Karena itu, dia juga menjalin kerjasama dengan para petani di beberapa daerah.

Sekalipun sudah sukses, Bob tidak lantas merendahkan orang lain. Sikap ini ditanamnya sejak merintis usaha. Tidak jarang Bob dimaki pelanggan telurnya kala itu. Bahkan, pernah dimaki babu orang asing. Namun, mereka mengaca pada diri sendiri dan segera memperbaiki pelayanan. Perubahan drastis pun terjadi pada diri Bob, yang semula pribadi feodal menjadi orang yang mau melayani.

Baginya, sukses itu proses. Buat seorang entrepreneur seperti Bob, setiap detik dia siap menerima kegagalan. “Kalau orang lain menolak kegagalan, saya menerima semua kegagalan,” ujarnya. “Setiap detik saya menerima kegagalan. Kata orang pinter, orang sukses itu adalah orang yang bangkit lagi setiap mendapatkan kegagalan. Itulah orang sukses,” lanjut Bob.

Keberhasilan Bob tidak lepas dari ketidaktahuannya. Sehingga, dia langsung terjun ke lapangan. Setelah jatuh bangun, Bob justru menjadi terampil dan menguasai bidangnya. Proses keberhasilan Bob berbeda dengan kelaziman, yang mestinya dimulai dari ilmu kemudian barulah berpraktik. Menurut Bob, banyak orang yang memulai dari ilmu akan berpikir dan bertindak serba canggih. Orang itu akan cenderung arogan, karena merasa memiliki ilmu yang melebihi orang lain.

Sedangkan, Bob senantiasa luwes terhadap pelanggan, mau mendengarkan saran, dan keluhan pelanggan. Dengan sikap seperti itu, Bob meraih simpati pelanggan dan mampu menciptakan pasar. Menurut Bob, kepuasan pelanggan akan menciptakan kepuasan diri sendiri. Karena itu, dia selalu berusaha melayani pelanggan sebaik-baiknya.

Bob menempatkan perusahaannya seperti sebuah keluarga. Semua anggota keluarga Kem Chicks harus saling menghargai, tidak ada yang utama, semuanya punya fungsi dan kekuatan. Bob tidak mau bergerak di luar bisnis makanan. Baginya, bidang yang ditekuninya sekarang ini tidak ada habis-habisnya. Karena itu, dia tak ingin berkhayal yang macam-macam.

Pesan Bob Sadino, langkah-langkah menjadi entrepreneur yang sukses dibangun dengan kemauan yang keras, tekad yang kuat, berani mengambil keputusan yang tepat, tahan banting, dan tidak cengeng menghadapi cobaan. Terakhir,
yang paling penting, adalah bersyukur dan ikhlas selalu kepada Allah.